Istilah “flexing” mungkin masih terbilang baru. Kata ini mengacu pada tindakan memamerkan atau memperlihatkan kenikmatan duniawi yang dimiliki seseorang, seperti mobil mewah, jam tangan mahal, tas bermerek, dan barang-barang serupa yang sulit dijangkau oleh orang kebanyakan.
Flexing, gambaran orang yang terlalu bangga dengan dunia
Tidak samar lagi bahwa flexing merupakan gambaran seseorang yang bangga dengan pencapaian duniawi. Dan secara umum, bangga dengan dunia itu termasuk perbuatan tercela, sebagaimana celaan Allah Ta’ala di dalam Al-Quran,
وَفَرِحُواْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مَتَاعٌ
“Mereka berbangga dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. Ar-Ra’d: 26)
Ketika Allah menceritakan tentang Qarun, Allah mengisahkan sebuah nasihat yang disampaikan oleh orang saleh dari kalangan Bani Israil kepada Qarun,
لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
“(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” (QS. Al-Qashash: 76)
Allah ceritakan bahwa Qarun sangat bangga dengan harta dan kemewahannya di depan masyarakat di sekitarnya,
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia berkata, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Qashash: 78)
Sehingga, fenomena bangga dengan kenikmatan duniawi adalah sesuatu yang tercela dan buruk dalam syariat kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri melarang hal itu, dan memberikan ancaman yang keras,
مَنْ شَرِبَ وفي رواية: إنَّ الذي يَأكُل أو يَشرَب في إناءٍ من ذهبٍ أو فضةٍ، فإنما يُجَرْجِرُ في بطنه نارًا مِن جهنَّم
“Siapa yang minum (dalam sebuah riwayat: Sesungguhnya orang yang makan dan minum) di wadah yang terbuat dari emas atau perak, maka hakikatnya dia sedang menuangkan api neraka Jahanam ke dalam perutnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang bermewah-mewahan sampai melebihi batas, itu masuk dalam kategori dosa besar, karena ada ancaman khusus di akhirat kelak. Bentuk kemewahan yang disebutkan dalam hadis ini adalah seseorang menggunakan wadah yang terbuat dari emas untuk makan dan minum. Para ulama menjelaskan hikmah larangan ini, yaitu hal ini bisa membuat sedih orang-orang miskin, mentang-mentang orang itu super kaya atau baru berkuasa, sampai-sampai emas digunakan sebagai wadah minum. Padahal di sisi lain, masih banyak orang-orang miskin seperti mereka yang sangat butuh makan. Dengan kata lain, perbuatan tersebut dilarang karena terkesan merendahkan orang lain, yaitu orang-orang miskin.
Baca juga: Nasihat untuk Saudaraku yang Hobi “Flexing”
Apa beda “flexing” dengan “at-tahadduts bin ni’mah”?
Orang-orang yang hobil flexing bisa saja beralasan bahwa tindakan mereka itu dalam rangka menyampaikan atau menceritakan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita (at-tahadduts bin ni’mah), sebagaimana ayat,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh-Dhuha: 11)
Alasan lainnya adalah untuk memotivasi orang lain agar bekerja keras dan fokus di dunia dan tidak mudah putus asa dalam meraih pencapaian duniawi.
At-tahadduts bin ni’mah memang salah satu bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala terhadap nikmat-nikmat yang telah Allah berikan. Abu Nadhrah rahimahullah mengatakan,
كان المسلمون يرون أن من شُكْرِ النعم أن يحدّثَ بها
“Kaum muslimin sepakat bahwa di antara bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakan nikmat tersebut (yaitu, at-tahdduts bin ni’mah).” (Tafsir Ath-Thabari, 24: 489)
Jadi, perintah dalam surah Adh-Dhuha ayat 11 adalah perintah untuk mensyukuri nikmat, dan salah satu bentuknya adalah at-tahadduts bin ni’mah. Lalu, apa yang dimaksud dengan at-tahadduts bin ni’mah? At-tahadduts bin ni’mah adalah menampakkan kenikmatan tersebut sebagai bentuk syukur kepada Dzat yang memberi, yaitu Allah Ta’ala. Dalam at-tahadduts bin ni’mah, seseorang lebih banyak memuji Dzat yang memberi, tujuannya adalah untuk mengagungkan Dzat yang memberi (Allah). Artinya, seseorang menyampaikan nikmat dengan fokus untuk menunjukkan bahwa semua itu dia raih adalah semata-mata karena kemudahan, pertolongan, dan nikmat dari Allah Ta’ala, bukan karena kemampuan dia sendiri. Misalnya, ketika seseorang memiliki suatu pencapaian, dia mengatakan, “Alhamdulillah, karena kemudahan dan pertolongan dari Allah, saya begini dan begitu … “ Ketika dia bercerita, dia lebih banyak memuji Allah Ta’ala. Inilah bentuk at-tahadduts bin ni’mah yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.
Adapun flexing, dia lebih fokus kepada kenikmatan tersebut dan merasa bahwa dia lebih hebat daripada orang lain. Dia lebih membanggakan materi. Selain itu, ketika dia menceritakan atau menunjukkan nikmat duniawi tersebut, sedikit pun tidak ada maksud untuk mengagungkan Allah Ta’ala. Inilah yang dimaksud dengan orang yang pamer atau berbangga dengan dunia (al-fakhru bid dun-ya). Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
Yaitu, orang-orang yang merasa lebih tinggi status sosialnya dengan kenikmatan dan kemewahan duniawi tersebut. Inilah hakikat pamer (flexing), yang semua ini kembali kepada hati setiap orang. Dan kita tidak tahu kondisi hati dan batin masing-masing orang yang melakukan flexing.
Apa gunanya memiliki kekayaan jika tidak memberikan kontribusi atau manfaat sedikit pun bagi Islam dan umat Muslim secara keseluruhan? Orang-orang, terutama yang miskin, hanya bisa melihat, yang pada akhirnya bisa memicu kebencian dari masyarakat terhadapnya. Fenomena ini jelas terlihat pada zaman sekarang. Ketika orang-orang mulai merasa benci terhadap pamer kekayaan yang dilakukan oleh orang-orang kaya, yang harus diwaspadai adalah kemungkinan mereka mendoakan keburukan, seperti meminta Allah untuk menghancurkan harta mereka. Terlebih lagi jika kekayaan tersebut berasal dari fasilitas negara atau hasil gratifikasi.
Demikianlah pembahasan ini untuk menjadi bahan renungan bagi kita semua, semoga bermanfaat.
Sumber: https://muslim.or.id