Hal yang Membatalkan Puasa

Berikut adalah penjelasan mengenai hal yang membatalkan puasa.

Makan dan minum dengan sengaja

Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155).

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqada puasanya, tanpa ada kafarah. Menurut pendapat mayoritas ulama (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/105).

Muntah dengan sengaja

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qada baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qada.” (HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).

Haid dan nifas

Apabila seorang wanita mengalami haid atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »

Bukankah kalau wanita tersebut haid, dia tidak salat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” (HR. Bukhari no. 304).

Jika wanita haid dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqada puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah,

 “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqada salat.” (HR. Muslim no. 335).

Keluarnya mani dengan sengaja

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqada, tanpa menunaikan kafarah. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku” (HR. Bukhari no. 1894).

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/53-54).

Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal. Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”(HR. Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127, dari Abu Hurairah).

Berniat membatalkan puasa

Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”(HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al Khattab).

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”(Al Muhalla, 6/174). Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqada puasanya di hari lainnya.

Jima’ (bersetubuh) di siang hari

Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadan membatalkan puasa, wajib mengqada dan menunaikan kafarah. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qada dan tidak ada kafarah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”(HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).

Menurut pendapat ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadan tidak punya kewajiban kafarah, yang menanggung kafarah adalah si pria. Alasannya, dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafarah sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafarah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafarah adalah hak harta. Oleh karena itu, kafarah dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.

Kafarah yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.

  1. Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
  2. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
  3. Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud(1 mud ± 0,75 kg makanan.

Untuk ukuran makanan di sini sebenarnya tidak ada aturan baku. Jika sekedar memberi makan, sudah dianggap menunaikannya.

Wallahu A’lam Bishawab

Sumber: 

Muslim or id (https://muslim.or.id/336-pembatal-puasa.html)

Rumaysho (https://rumaysho.com/7829-pembatal-puasa.html)

(Visited 38 times, 1 visits today)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *